Permasalahan dan solusi mengurangi sengketa pajak di Indonesia

 

Pemeriksaan di KPP.

         Sumber awal sengketa pajak di Indonesia berada pada level pemeriksaan, permasalahan pada saat pemeriksaan sering kali dibawa ke tahap yang lebih tinggi dan pemeriksaan tidak dijadikan tahap akhir dalam menguji kepatuhan Wajib Pajak. Pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Pajak harus mengevaluasi sistem pemeriksaan pajak di Indonesia, seperti mencontoh Pemerikasan di Negara Thailand dimana terdapat lembaga penengah yang mencegah Wajib Pajak melakukan keberatan yang terdiri dari fiskus sebagai pemeriksa pajak, praktisi sebagai pelaku usaha dan akademisi, hasil putusan bersama tersebut sifatnya mengikat sehingga pemeriksa pajak harus mengikuti keputusan yang dibuat bersama.

         Indonesia sudah memiliki ide awal untuk melakukan evaluasi dengan adanya penengah antara pemeriksa dan Wajib Pajak yaitu dengan Quality Assurance, namun prosesnya tidak berjalan seperti yang diharapkan, karena yang pada proses QA di Indonesia tidak mengurus permasalahan materi namun hanya mengurus permasalahan formal, sehingga banyak WP yang tidak memanfaatkan QA. Kinerja pemeriksa pajak di Indinesia saat ini juga sering kali didasarkan pada temuan serta target penerimaan, dimana seharusnya hal tersebut dapat dievaluasi dengan tidak semata-mata menjadikan target penerimaan sebagai penilaian kinerja otoritas pajak.

 

Keberatan di Kanwil atau DJP Pusat.

         Sengketa pajak yang memiliki nominal yang besar sering kali ditolak oleh penelaah keberatan pada KanWil Direktorat Jenderal Pajak karena beberapa alasan yaitu jika permohonan keberatan Wajib Pajak diterima akan beresiko bagi tim penelaah keberatan karena akan dilakukan pemeriksaan baik dari Dirjen Pajak, Badan Pengawas Keuangan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi, sedangkan jika permohonan keberatan diterima maka tidak ada resiko yang diterima oleh para penelaah keberatan.

          Permasalahan kedua yaitu masih adanya budaya kalau menerima keberatan Wajib Pajak para penelaah keberatan dianggap tidak setia dengan institusi DJP karena yang melakukan pemeriksaan juga masih dalam satu institusi walaupun dalam ranah yang berbeda dimana pemeriksaan dilakukan di KPP Pratama ataupun KPP Madya dan keberatan di KanWil ataupun di kantor pusat DJP namun tetap saja budaya tidak enak dan terkesan menghianati institusi jika menerima keberatan Wajib Pajak menjadi suatu hal yang serius untuk diperbaiki.

        Perbaikan yang harus dilakukan pada tahap keberatan yaitu dengan menerapkan pola integritas dimana tidak para penelaah keberatan tidak boleh diintervensi oleh pihak lain termasuk dari internal DJP maupun pengawas dari external, perbaikan lain yang dapat dilakukan yaitu dengan memisah bagian penelaah keberatan dari awalnya berada di bawah institusi DJP menjadi diluar institusi DJP, walaupun masih bisa dalam satu payung yang sama dibawah institusi Kementerian Keuangan. Wacana pemisahan tersebut sudah cukup lama beredar di masyarakat bahkan sampai adanya Forum Group Discussion dilakukan namun nampaknya sampai dengan saat ini tidak ada perkembangan terkait dengan hal tersebut.

 

Pengadilan Pajak.

           Permasalahan yang terjadi pada sengketa pada tingkat pengadilan pajak yaitu tidak semua hakim mengetahui substansi bisnis Wajib Pajak, seharusnya para hakim di pengadilan pajak memiliki pemahaman yang luas terkait dengan substansi bisnis yang dilakukan oleh Wajib Pajak agar tidak menimbulkan putusan yang dapat merugikan salah satu pihak, baik Wajib Pajak maupun Otoritas Pajak.

         Putusan pengadilan dengan permasalahan yang sama dengan hasil yang berbeda juga sering kali menjadi suatu perhatian bersama, Indonesia dapat mencontoh Jerman dengan menjadikan putusan para hakim sebelumnya menjadi sebuah regulasi yang mengikat atau dapat mencontoh China dengan menggunakan Artificial Intelligent untuk menganalisis hasil putusan di pengadilan pajak yang dianalisis secara otomatis yang dapat dijadikan acuan dari Wajib Pajak maupun otoritas pajak jika terjadi sengketa hasilnya kemungkinan sudah diketahui sehingga para pihak yang bersengketa dapat saling mempertimbangkan analisis Artificial Intelligent tersebut, walaupun bukan menjadi sebuah regulasi yang mengikat.

          Intervensi politik juga dapat terjadi pada sengketa pajak, contohnya pada kasus branch profit tax pada perusahaan migas apakah menggunakan tarif tax treaty atau tarif domestik, Excon Mobil pernah bersengketa dengan Direktorat Jenderal Pajak di Pengadilan dan memenagkan sengketa dengan menggunkan tarif tax treaty namun perusahaan lain setelahnya menadapat putusan yang berbeda-beda ada yang dimenangkan, ada yang kalah serta ada yang putusannya tidak keluar dalam jangka waktu lama sehingga tidak adanya kepastian hukum. Contoh lainnya yaitu sengketa atas transaksi PGN Tahun Pajak 2012 dan 2013 terkait dengan penafsiran Pemungutan PPN atas gas bumi yang bernilai total Rp 3,06 triliun dimana Wajib Pajak menilai tidak ada penambahan nilai terhadap pengaliran gas menggunakan pipa karena tidak merubah bentuk dan fungsi serta kandungan kimianya dan hanya melakukan pembersihan dari kotoran, namun Direktorat Jenderal Pajak memandang sebaliknya. Keputusan Mahkamah Agung (MA) memenangkan Direktorat Jenderal Pajak dan setelahnya Erik Tohir selaku Menteri BUMN menemui Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan untuk membahas permasalahan tersebut, dimana pada akhirnya ada intervensi politik dimana seharusnya Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung hanya bisa dilakukan sekali namun diajukan PK kembali yang pada akhirnya putusannya berbeda dimana hasil putusan PK kedua memenangkan Wajib Pajak, hal tersebut menjadi indikasi adanya intervensi politik.

 

Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung.

          Pengadilan Pajak secara hierarki berada di bawah Pengadilan Tata Usaha Negara sehingga untuk proses peninjauan kembali dilakukan oleh PTUN kamar pajak. Saat ini jumlah hakim agung kamar pajak hanya ada dua orang dengan jumlah kasusyang begitu banyak sehingga untuk menyelesaikan sengketa pajak peninjauan kembali yang masuk ke Mahkamah Agung harus diselesaikan dengan terburu-buru sehingga hasil dari putusan bisa saja tidak optimal. Perbaikan yang harus dilakukan yaitu dengan menambah jumlah hakim agung kamar pajak sehingga tanggung jawab untuk memberi keadilan oleh para hakim dapat dilakukan dengan waktu yang cukup dan dengan hasil keadilan yang sebenarnya.

 

 

 

 

Sumber :

Paparan Dr. Ning Rahayu (Dosen FIA Univeritas Indonesia)

https://www.cnbcindonesia.com/market/20210105094526-17-213520/erick-turun-tangan-begini-kronologi-kasus-pajak-pgn-rp-68-t

https://nasional.kompas.com/read/2018/01/26/13481711/mahkamah-agung-butuh-hakim-pajak-tetapi-yang-mendaftar-sedikit

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *