Desentralisasi fiskal dimulai di Indonesia sejak tahun 2001 dengan pengalokasian dana transfer ke daerah dalam APBN yang meningkat sangat signifikan hingga mencapai 145,06% dibandingkan tahun 2000. Bersamaan dengan peningkatan dana transfer ke daerah, Pemerintah terus menerus melakukan upaya perbaikan implementasi desentralisasi fiskal yang ditetapkan dalam berbagai tingkatan regulasi. Hasil evaluasi mengindikasikan bahwa kualitas pelaksanaan kebijakan masih perlu terus ditingkatkan. Berbagai kendala yang dihadapi dan karakteristik daerah di Indonesia yang sangat beragam menjadi tantangan dalam upaya perumusan kebijakan desentralisasi fiskal yang tepat bagi seluruh daerah di Indonesia Implementasi di Indonesia.
Desentralisasi fiskal merupakan sebuah langkah yang sangat baik dimana diharapkan dengan adanya desentralisasi fiskal keuangan daerah tidak hanya bergantung kepada pusat, namun demikian bukan berarti sepenuhnya daerah dapat melakukan kemandirian fiskal dikarenakan beragamnya karakteristik berbagai daerah, contohnya Jakarta sudah pasti dapat melakukan kemandirian fiskal karena merupakan pusat bisnis dan keuangan di Indonesia serta kantor pusat perusahaan-perusahaan besar di Indonesia, namun untuk daerah lainnya terutama di luar pulau jawa banyak yang jauh dari kata kemandirian fiskal, jangan sampai karena terobsesi dengan kemandirian fiskal semua daerah tidak mendapatkan transfer dana dari pusat.
UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa dalam mewujudkan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang baik berlandaskan pada 4 (empat) pilar utama yaitu mengembangkan sistem Pajak yang mendukung alokasi sumber daya nasional yang efisien, mengembangkan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam meminimalkan ketimpangan vertikal dan horizontal melalui kebijakan TKD dan Pembiayaan Utang Daerah, mendorong peningkatan kualitas Belanja Daerah, serta harmonisasi kebijakan fiskal antara Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan layanan publik yang optimal dan menjaga kesinambungan fiskal.
UU No. 1 Tahun 2022 mengunci kualitas belanja daerah sehingga daerah lambat belajar dan berkembang, pemerintah pusat bagaikan orang tua yang takut anaknya jatuh saat belajar berlajalan sehingga pada akhirnya anak tersebut malah menjadi lambat berjalan, begitupula sistem belanja daerah dimana pemerintah pusat terlalu ikut campur untuk membatasi semua biaya pengeluaran pemerintah daerah, hal ini akan membuat daerah menjadi lambat untuk dewasa, seharusnya daerah diberi keleluasaan untuk mengelola anggarannya, pusat hanya melakukan kontrol dan evaluasi tanpa membatasi.
Standar Pelayanan Minimum (SPM) akan menjadi indikator yang terukur dan obyektif untuk menilai keberhasilan daerah dalam menjalankan keleluasaan belanja yang berorientasi pada pembangunan berkelanjutan. Adanya program nasional dan program daerah dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia berpotensi adanya belanja yang tumpang tindih (overlapping), belanja berlebihan (over supply), dan belanja yang kurang (under supply) sehingga perlu dilakukan harmonisasi belanja pusat dan daerah untuk mencapai layanan publik yang optimal. Kunci harmonisasi belanja yaitu setiap belanja harus diawali dengan kejelasan tugas dan kewenangan pada tiap tingkat pemerintahan.