Pengenaan pajak di Indonesia terdiri dari beberapa jenis dimana pengelompokan pajak dapat dibedakan menurut instansi pemungutnya. Berdasarkan instansi pemungutnya, pajak dikelompokkan menjadi dua yaitu pajak pusat dan pajak daerah. Penyelenggaraan pajak daerah merupakan wujud desentralisasi yang memberikan kewenangan bagi daerah untuk mengelola daerah secara mandiri. Oleh karena itu, pemerintah pusat mendelegasikan hak kepada daerah untuk dapat memungut pajak daerah.
Dalam perkembangannya, implementasi pajak pusat dan pajak daerah masih terdapat tantangan, salah satu tantangan yang dihadapi adalah grey area antara objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang berbasis konsumsi. Ketentuan pajak atas makanan dan minuman yang diatur dalam UU PPN dan UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) belum mampu mengatasi grey area dalam peraturan perpajakan. Hal tersebut mengindikasi bahwa terdapat loopholes yang dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak.
Berdasarkan Pasal 4A ayat 2 huruf c UU Nomor 42 Tahun 2009 s.t.d.t.d UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, jenis barang yang tidak dikenai PPN yakni barang tertentu dalam kelompok barang makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah. Di sisi lain, Pasal 50 UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjelaskan bahwa objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi makanan dan/atau minuman; tenaga listrik; jasa perhotelan; jasa parkir; dan jasa kesenian dan hiburan. Selanjutnya, Pasal 51 ayat 1 UU HKPD mengatur ketentuan penjualan dan/atau penyerahan makanan dan/atau minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 yang meliputi makanan dan/atau minuman yang disediakan oleh:
1. Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian makanan dan/atau minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
2. Penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
– proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
– penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
– penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
Pemberlakuan Pasal 51 ayat 1 huruf a UU HKPD hanya menjangkau objek pajak makanan dan/atau minuman yang dijual oleh restoran yang memberikan layanan berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan. Bagi bisnis kuliner yang tidak menyediakan fasilitas meja, kursi, dan/atau peralatan makan atau menerapkan konsep take away, maka bisnis tersebut bukan objek PBJT. Pada Penjelasan Pasal 51 ayat 1 huruf a UU HKPD dijelaskan contoh penerapannya. Sebagai ilustrasi, Toko Roti A melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), lalu didistribusikan melalui Toko Roti A untuk dijual kepada konsumen. Toko Roti A tidak menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti A tidak memenuhi kriteria restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek PPN.
Ilustrasi yang terdapat dalam bagian penjelasan Pasal 51 ayat 1 huruf a UU HKPD tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam batang tubuh UU PPN. Menurut Pasal 4A ayat 2 huruf c UU PPN, makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak merupakan jenis barang yang tidak dikenai PPN. Hal tersebut merupakan celah atau loopholes dimana penyerahan atas makanan dan/atau minuman oleh usaha kuliner yang tidak menyediakan layanan meja, kursi, dan/atau peralatan makan (take away) tidak kenakan PPN dan PBJT. Wajib pajak dapat memanfaatkan celah tersebut untuk melakukan penghindaran pajak dengan tidak membayar PPN dan PBJT.
Selain pajak atas penjualan dan/atau penyerahan makanan dan/atau minuman, pajak atas jasa perhotelan juga memiliki loopholes. Loopholes atau celah tersebut terlihat pada persandingan antara Pasal 4A Ayat 3 huruf l UU Nomor 42 Tahun 2009 s.t.d.t.d UU Nomor 7 Tahun 2021 dengan Pasal 53 huruf j UU Nomor 1 Tahun 2022 serta dibandingkan dengan Peraturan Daerah di beberapa kota di Indonesia.
Pasal 4 A Ayat huruf l UU PPN menyatakan bahwa jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu yaitu jasa perhotelan, meliputi jasa penyewaan kamar dan/atau jasa penyewaan ruangan di hotel yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah. Pasal 53 huruf j UU HKPD merinci jenis jasa perhotelan yang termasuk kepada objek pajak daerah meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel. Pada Penjelasan Pasal 53 huruf j UU HKPD yang dimaksud dengan “tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel” adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan).
Penulis mengutip 4 peraturan daerah kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung dan Medan dengan asumsi peraturan daerah di kota besar tersebut dapat mewakili kabupaten atau kota di Indonesia. Pasal 3 Ayat 3 b Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pasal 3 Ayat 5 huruf b Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 04 Tahun 2011, Pasal 3 Ayat 4 huruf b Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 06 Tahun 2016, Pasal 2 Ayat 4 b Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 04 Tahun 2011, memiliki persamaan jenis jasa yang dikecualikan dari objek pajak hotel sebagai berikut: “Tidak termasuk objek Pajak Hotel adalah jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya”, juga berisi muatan yang sama “Tidak termasuk objek Pajak Hotel adalah jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya”
Berdasarkan UU PPN dan UU HKPD di atas dapat dilihat bahwa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel yaitu rumah, apartemen dan kondominium dengan persyaratan di penjelasan Pasal 53 huruf j UU HKPD merupakan objek pajak daerah. Oleh karena itu, penyerahan jasa tersebut merupakan non objek Pajak Pertambahan Nilai karena sudah masuk dalam objek pajak daerah. Namun, dalam pelaksanaan pajak daerah yang diatur secara lebih rinci di Peraturan Daerah Jakarta, Surabaya, Bandung dan Medan yang masih berlaku hingga saat ini penyerahan jasa tersebut masih dikecualikan dari objek pajak daerah, artinya pajak atas tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel yaitu rumah, apartemen dan kondominium tidak dikenakan Pertambahan Nilai dan juga tidak dikenakan Pajak Daerah sebagaimana yang diamanatkan dalam UU PPN maupun UU HKPD.
Lebih lanjut dijelaskan dalam UU No 1 Tahun 2022 bahwa peraturan daerah yang terbit sebelum adanya aturan tersebut mengenai pajak daerah dan retribusi daerah masih berlaku dan wajib diterbitkan oleh semua daerah di Indonesia paling lama 04 Januari 2023, oleh karena itu kita harus menunggu detail perda dari setiap daerah untuk melihat lebih rinci apakah terdapat loopholes dari maing-masing PERDA.
Sumber :
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021