MULTISISTEM DAN MULTITARIF PADA PENGENAAN PAJAK ATAS KONSUMSI DI UU PPN DAN DI UU HKPD

    Berdasarkan UU HKPD pajak atas konsumsi bukan hanya PPN (11%) namun juga pajak daerah (10%). Namun, dalam hal ini dimungkinkan daerah membuat tarif lebih rendah (leveling tarif). Bagaimana memastikan bahwa dengan dualisme sistem dan tarif yang berbeda, kewajiban dan hak tetap bisa dipenuhi?

      Pajak sebagai salah satu pendapatan terbesar negara memiliki peran yang sangat penting untuk digunakan dalam keberlangsungan pembangunan suatu negara. Pendanaan yang baik dari suatu negara tidak terlepas dari hubungan yang baik antara pemerintah pusat dan juga pemerintah daerah sehingga hal ini juga dapat menciptakan kesejahteraan masyarakat serta tersedianya fasilitas publik yang memadai.

   Dalam upaya menyempurnakan pelaksanaan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang adil, transparan dan akuntabel sehingga dapat terwujud pemerataan fasilitas publik dan kesejahteraan masyarakat, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tertuang dalam UU No. 1 Tahun 2022 tentang HKPD. Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ini didasarkan pada empat pilar yang mana diantaranya adalah mendorong peningkatan kualitas belanja daerah, harmonisasi kebijakan fiskal antara pemerintah dan daerah guna menciptakan pelayanan publik yang lebih optimal dan menjaga kesinambungan fiskal, mengembangkan hubungan keuangan antara pemerintah daerah dalam meminimalkan ketimpangan vertikal dan horizontal melalui kebijakan tentang keuangan daerah dan pembiayaan utang daerah, serta yang terakhir adalah mengembangkan sistem pajak dan mendukung alokasi sumber daya nasional yang lebih efisien.

      Sebagai upaya menciptakan alokasi sumber daya yang lebih efisien, pemerintah memberikan kewenangan kepada daerah untuk memungut pajak dan retribusi melalui restrukturisasi jenis pajak, penyederhanaan jenis retribusi dan pemberian sumber perpajakan daerah yang baru. Restrukturisasi pajak dilakukan melalui reklasifikasi jenis pajak berbasis konsumsi menjadi satu jenis pajak yaitu PBJT. Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) sendiri ditetapkan oleh pemerintah daerah yang diatur dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) dan tertuang dalam pasal 58 yang mana meliputi :

1. Tarif PBJT ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen)

2. Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan (diskotik, karaoke, klab malam, bar dan mandi uap/spa) ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%

3. Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:

    – Konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan paling tinggi sebesar 3%, dan

     – Konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan paling tinggi 1,5%.

4. Tarif PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh perda

     Salah satu tujuan dari hal ini adalah untuk menyesuaikan objek pajak pusat dan daerah guna menghindari adanya pemungutan pajak secara ganda. Adanya kebijakan multi tarif dalam pengenaan pajak atas konsumsi yang berarti penerapan tarif PPN atas setiap objek pajak berbeda-beda dapat memberikan beberapa manfaat yang mana diantaranya adalah efisiensi dan keadilan. Dengan adanya penerapan tarif PPN yang berbeda maka atas barang yang hanya dapat dikonsumsi oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi dapat menciptakan distribusi penghasilan yang adil.

      Adapun terkait terkait sistem pengenaan pajak atas konsumsi di Indonesia mulanya adalah Pajak Penjualan (PPn) tahun 1951 kemudian diubah menjadi PPN melalui kebijakan yang diterbitkan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983. Pada dasarnya pengenaan PPn pajak dapat menimbulkan adanya cascading effect, dalam hal ini Cascading Effect dapat dihilangkan dengan adanya metode pengkreditan pajak masukan terhadap keluaran sehingga PPN hanya dikenakan atas dasar nilai tambah yang terdapat dalam setiap tahap produksi dan distribusi.

      Namun dalam penerapan pajak atas konsumsi yang diterapkan oleh pemerintah daerah terhadap PBJT tidak mengenal sistem pengkreditan pajak, artinya pengusaha atau wajib pajak tidak dapat mengkreditkan pajak masukan (PM) sebagaimana diberlakukan oleh pemerintah pusat dalam pemungutan PPN. Hal ini menyebabkan terjadinya multisistem pemungutan pajak terhadap objek pajak yang mempunyai basis yang sama yaitu pajak atas konsumsi. Hal ini tentu menjadi tidak adil bagi wajib pajak atau pengusaha yang dikenakan PBJT oleh pemerintah daerah dibandingkan dengan PPN yang dikenakan terhadap pengusaha kena pajak oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu kelompok kami mengusulkan, guna terciptanya keadilan pengenaan pajak yang berbasis konsumsi maka sebaiknya sistem yang digunakan untuk memungut PBJT oleh pemerintah daerah juga menggunakan sistem yang sama seperti pemungutan PPN yaitu menggunakan skema pengkreditan pajak masukan.

 

Sumber :

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *