Dalam UU PPN s.t.d.t.d UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan yaitu UU HPP nomor 7 tahun 2021, pemerintah memberikan kemudahan di bidang perpajakan dan juga berdampak kepada perekonomian melalui insentif terhadap jasa kena pajak (JKP) tertentu yang bersifat strategis yang atas penyerahannya di dalam daerah pabean atau pemanfaatannya dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Peraturan Pemerintah (PP) nomor 49 tahun 2022 yang merupakan salah satu peraturan pelaksaan ketentuan pasal 16B ayat (1) UU PPN s.t.d.t.d UU HPP.
Sesuai pada pasal 10 Huruf H dan pasal 18, 19, 20 dan 21 PP 49 tahun 2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai Dibebaskan dan pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah tidak dipungut atas impor dan/atau penyerahan barang kena pajak tertentu dan/atau penyerahan jasa kena pajak tertentu dan/atau pemanfaatan jasa kena pajak tertentu dari luar daerah pabean, Pemerintah membebaskan jasa angkutan umum di darat , di air dan Angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari jasa angkutan luar negeri, dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11% dan tanpa surat keterangan bebas (SKB) PPN, oleh karena itu pajak masukan atas jasa angkutan yang dibebaskan dari pengenaan PPN tidak dapat dikreditkan, namun wajib pajak tersebut tetap harus membuat faktur pajak.
Selain itu terdapat perbedaan dari aturan sebelumnya yaitu pada pasal 1 PMK 80 tahun 2012 mengenai definisi jasa angkutan umum di darat yang disampaikan oleh DJP, “definisi dari jasa angkutan umum di jalan yaitu kegiatan pemindahan orang dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan angkutan umum di ruang lalu lintas jalan, dengan dipungut bayaran dan tidak lagi mempertimbangkan plat nomor, yaitu apakah plat nomor kuning atau tidak”, kata DJP melalui pemaparan sosialisasi PP 49 tahun 2022, dikutip pada Kamis (09/02/2023).
Perlu dijelaskan apakah PMK baru akan terbit untuk memberikan penegasan mengenai perbedaan tersebut di atas. Berikut contoh jika seluruh jasa angkutan umum seluruhnya dibebaskan artinya tanpa membertimbangkan plat nomor:
PT ABC bergerak di bidang jasa angkutan umum, melakukan jasa penyerahan jasa angkutan umum sejumlah 20 unit mobil dengan keterangan sebagai berikut: mobil sejumlah 10 unit dengan plat kuning dan juga memiliki 10 unit mobil dengan plat hitam, jika tanpa membertimbangkan plat nomor maka artinya hanya 10 unit mobil dengan plat kuning yang mendapatkan PPN dibebaskan dan 10 unit mobil dengan plat hitam tidak mendapatkan PPN dibebaskan. Namun, jika tidak ada batasan plat kuning maka 20 mobil PT A tersebut dibebaskan dari pengenaan PPN.
Contoh tersebut diatas berbeda dengan definisi jasa angkutan umum di kereta api, yang mana menurut penulis seharusnya jasa angkutan umum di jalan dikategorikan sama dengan kereta api, yaitu dengan adanya pilihan untuk dibebaskan jika angkutan kereta api yang selain disewakan dan tidak dibebaskan jika melalui penyewaan atau carter, pada akhirnya kebijakan ini dapat memberikan kemudahan di bidang perpajakan, sehingga menghindari wajib pajak dari dampak cascading effect, dan perlu ditegaskan untuk contoh ini adalah jika barang yang diangkut adalah Barang Kena Pajak (BKP).