Prinsip dasar pajak internasional (hak pemajakan suatu negara)

          Sovereignty, ironically “a State can construe sovereignty so as to justify State conduct, whilst another State will refer to sovereignty to denounce the same act (Guntrip, 2016).

         Tax Sovereignty atau the taxing rights adalah kata yang tidak bisa lepas dari pembahasan tentang perpajakan internasional, pengenaan pajak yang timbul dari transaksi internasional atau cross border transaction, dimana jika hanya berfokus kepada kompetisi antar negara atau lintas yurisdiksi dalam menarik atau mengumpulkan penerimaan pajak, maka ini tidaklah cukup dalam menyelesaikan berbagai permasalahan.terkait dengan kedaulatan pajak. Kedaulatan suatu negara dalam mengatur pemajakan atas cross border transaction bisa saja mengalami benturan akibat adanya perbedaan-perbedaan seperti azas pemugutan, penentuan kriteria Resident dan lain sebagainya, sehingga dapat terjadi saling klaim hak pemajakan oleh satu negara dengan negara lainnya.

 

Jurisdiction to tax

         Penghindaran pajak internasional menjadi isu yang sangat mendasar dalam cross border transaction di lintas yurisdiksi, kedaulatan negara atas transaksi lintas yurisdiksi tersebut kadang dianggap memiliki peran yang sangat penting, meskipun dalam pilihan lintas yurisdiksi saling berkoordinasi, dimana masing-masing yurisdiksi tidak lagi mengedepankan kompetisi dalam hal pemajakan yang dilakukan suatu yurisdiksi terhadap yurisdiksi lainnya, maka kedaulatan pajak lebih dapat diatur dalam rangka meningkatkan hak atau kedaulatan atas pemajakan oleh suatu negara, sehingga pengertian dari tidak bergantung kepada negara lainnya adalah pengertian dari negara berdaulat menurut Elzbieta Dynia (Ermentrout, 2020) “A sovereign state is described as one which is not dependent in either is external relations or internal affairs” adalah bukan lagi menjadi suatu kekuatan dalam menegakan kedaulatan dibidang perpajakan, dalam jusrisdiction to tax atau hak pemajakan atas cross border transaction yang tidak terlepas dari Sovereignty, oleh karenanya hak pemajakan tersebut dipengaruhi oleh hubungan bilateral maupun multilateral, dimana terdapat aturan-aturan yang terbentuk seperti perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) atau tax treaty, global agreement Pillar one (unified approach) , Pillar two (Global minimum tax rate 15%) dan aturan-aturan pajak internasional lainnya. Pada akhirnya koordinasi atau kolaborasi antar lintas yurisdiksi adalah mempunyai kekuatan yang lebih dibandingkan dengan berkompetisi.

 

 

Referensi:

Bree Ermentrout, “Upsetting the Apple Cart: European Commission State Aid Rulings and State Tax Sovereignty”, A Thesis in the Field of History for the Degree of Master of Liberal Arts in Extension Studies Harvard University, November 2020.

Edward Guntrip, “Self Determination Foreign Direct Investment: Reimaging Sovereignty in International Investment Law”, A Thesis in the Field of History for the Degree of Master of Liberal Arts in Extension Studies Harvard University, Vol. 65, No. 4 October 2016.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *